Senin, 06 Januari 2014

TAN MALAKA, Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dlm Sejarah Indonesia yg Dihargai di Eropa!  


Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.



Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.

Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.[/SIZE]



Pejuang antikolonialisme

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.

Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.



Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.



Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.

Sejarah yang Terlupakan: Jasa Besar Mesir dalam Kemerdekaan RI

Sebelum tanggal 22 Maret 1946 Indonesia selalu diklaim Belanda sebagai masalah dalam negeri negara penjajah itu. Belanda tetap mengklaim Indonesia sebagai wilayah jajahannya.

Sebelum 22 Maret 1946 belum lengkap syarat negara Indonesia secara de jure walaupun secara de facto Indonesia sudah berdiri sejak 17 Agustus 1945.

Sebelum 22 Maret 1946, negara-negara di luar Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mau ikut campur urusan Indonesia karena dianggap sebagai masalah dalam negeri Belanda.

Sebelum 22 Maret 1946, dunia internasional belum mau mengurusi masalah Indonesia walaupun terjadi peperangan di Indonesia dan banyak korban jiwa.

Sebelum 22 Maret 1946, delegasi Indonesia seperti Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedjatmoko, LN Palar, tidak boleh masuk ke Sidang Majelis Umum PBB.


Apa yang terjadi pada 22 Maret 1946? Itu adalah tanggal ketika ada sebuah negara mengakui kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya. Negara itu adalah Mesir. Bahkan setahun sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Palestina, melalui Mufti Besarnya, Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini sudah menyatakan dukungannya untuk Indonesia.

Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ dari Syaikh Amin Al-Husaini ke seluruh dunia Islam untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Sejak Mesir dan Palestina mengakui dan mendukung kemerdekaan Indonesia, negara-negara di Timur Tengah berduyun-duyun mengakui kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya itu, India pun kemudian mengikuti langkah Mesir dan Palestina.

Selain kepiawaian Haji Agus Salim untuk melobi negara-negara Timur Tengah, juga karena dukungan dari gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah pada umumnya dan Mesir pada khususnya.

Berawal dari Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di Kairo,  Mesir yang membaca di Majalah Vrij Netherland yang memberitakan bahwa Negara Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian memberitahukannya kepada koran-koran dan radio di Mesir.


Rakyat Mesir dan anggota-anggota organisasi Islam menyambut gembira. Koran-koran dan radio Mesir mengatakan bahwa ini adalah awal kebangkitan di dunia Islam. Juga dinyatakan ini adalah awal dari kemerdekaan negara-negara di dunia Islam untuk terbebas dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.

Pada 16 Oktober 1945 sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk ‘Lajnatud Difa’i'an Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama gerakan ini.

Sejak itu Ikhwanul Muslimin sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Para kelasi kapal yang bekerja di kapal-kapal Inggris banyak yang melakukan pemogokan bahkan berhenti bekerja dan mengajukan tuntutan kepada pemerintah Inggris supaya berhenti membantu Belanda.


Bahkan ada mahasiswa Indonesia yaitu Mohammad Zein Hassan yang bekerja di kapal Inggris di Tunisia, berhenti bekerja di kapal Inggris itu dan berjalan kaki dari Tunisia ke Mesir.

Ketika ditanya kenapa ia berjalan kaki sejauh itu, Zein Hassan menjawab, “Seluruh perusahaan transportasi dari Tunisia ke Mesir adalah milik Inggris dan ulama-ulama di Mesir mengharamkan bekerjasama dengan Inggris yang membantu Belanda menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia!”

Saat itu Ikhwanul Muslimin juga membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran dan majalah milik Ikhwan.

Ketika terjadi pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan banyak koran Indonesia memberitakan, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya mengadakan shalat ghaib berjamaah di banyak tempat di Mesir.

Atas desakan ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya akhirnya Negara Mesir di bawah pimpinan Raja Farouk ketika itu mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946. Setelah itu pemerintah Mesir mengirimkan utusan khususnya yang membawa surat pengakuan itu untuk menemui Presiden Soekarno di ibukota RI, Yogyakarta.


Kemerdekaan Indonesia-Ketua Delegasi Indonesia H. Agus Salim didampingi Prof Rasyidi mengucapkan terimakasih kepada Asy Syahid Hasan Al Banna atas dukungannya yg sangat kuat bagi kemerdekaan Indonesia-jpeg.imageIni adalah perjuangan berat karena saat itu Indonesia diblokade Belanda. Perlu keberanian dan keterampilan khusus seperti John Lie untuk menembus blokade Belanda.

Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama pada 1947, para buruh anggota Ikhwanul Muslimin sering mencegat kapal-kapal Belanda di Terusan Suez yang saat itu dinyatakan milik internasional.

Ketika kapal Belanda Volendam mendarat di Port Said, beberapa motor boat yang dikendarai buruh pelabuhan dan anggota-anggota Ikhwanul Muslimin, mengelilingi kapal itu dan mencegah kapal-kapal lain mendekat dan menyuplai air minum untuk kapal Belanda tersebut.

Pemerintah Mesir juga menyalurkan bantuan lunak berupa uang kepada pemerintahan Indonesia yang kas-nya masih kosong. Sungguh sebuah bantuan yang sangat berarti. Hal ini kemudian diikuti oleh negara-negara Timur Tengah lainnya.


Jadi Peran Mesir yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin sangatlah besar dan berarti buat Indonesia. Maka, sangatlah wajar kalau pemerintah dan rakyat Indonesia saat ini membantu Mesir dan Palestina dalam menyelesaikan masalah mereka karena hubungan historis yang sangat kuat. Di Mesir juga ada Jalan Ahmad Soekarno yang diambil dari nama Presiden Pertama Republik Indonesia.